Kamis, 22 Mei 2008

ESF memang Game favorite

Bagi para orang baru paling mereka hanya kenal counter-strike, tetapi mereka belum tahu tentang game seru dari Half life lainnya ya salah satunya ESF (Earth's Special Forces).
Game ini sudah ngetrend, di eropa sana.Penasaran game apa itu!!!!!!!!!!!!
mau tahu perkembangan Game ESF

ESF Community (click disini)
Kalau liat trailernya pasti ngerasa mau download secepatnya. ya memang seru kan!!!!!!!

Trailer ESF (click disini)

Rabu, 21 Mei 2008

Perbedaan Cara Pandang Saintis dan Pakar Filsafat Ilmu

NETRALITAS SAINS


Di kolom “Hikmah” Republika 6 Maret 1999 saya mengulas tentang sains (dalam hal ini sains alami - natural science) yang sering disalahartikan dalam hal netralitasnya terhadap sistem nilai. Dalam tulisan pendek tersebut saya menyatakan bahwa dari segi esensinya semua sains sudah Islami. Islamisasi sains sungguh tidak tepat. Tidak ada sains Islam dan sains non-Islam. Yang ada saintis Islam dan saintis non-Islam. Saintisnya yang tidak bebas nilai, tata nilai yang dianutnya tidak akan lepas dari pikirannya yang mungkin muncul dalam pemaparan yang bersifat populer, bukan pada makalah teknis ilmiah. Demi kesahihan argumentasi ilmiahnya, tata nilai harus dilepaskan dalam pemaparan yang bersifat teknis ilmiah karena saintis harus berpijak pada rujukan yang dapat diterima semua orang.
Pada saat yang sama muncul tulisan Freddy P. Zen dan Husin Alatas di IDEA edisi Maret 1999 berjudul “Islamisasi Sains atau Islamisasi Saintis”. Ide pokoknya sama dengan tulisan saya tersebut, bahwa sains itu bebas nilai. Hal penting yang perlu dilakukan adalah Islamisasi saintis.
Secara umum itulah pandangan saintis. Almarhum Prof. Abdus Salam (pemenang Nobel Fisika 1979, Fisikawan Muslim asal Pakistan — yang dianggap kontroversial sebagai pengikut Ahmadiyah) menyatakan secara tegas di dalam pengantarnya untuk buku “Islam and Science : Religious Orthodoxy and the Battle for Rationality” (Hoodbhoy, P. 1992) menyatakan “There is only one universal science, its problems and modalities are international and there is no such thing as Islamic science just as there is no Hindu science, no Jews science, no Confucian science, nor Christian science.”

Tulisan Zen dan Alatas tersebut ditanggapi oleh Herman Soewardi, Guru besar sosiologi dan filsafat ilmu, dalam makalah yang disampaikan di Pusdai. Dengan menggunakan terminologi dari Tarnas, SBS (Sains Barat Sekuler), tulisan tersebut menilai sains tidak netral. Pandangan bahwa sains netral dianggapnya “terbelakang” dan “sudah ketinggalan zaman”. Dilandasi pandangan para pakar filsafat ilmu, pandangan ketidaknetralan sains tampaknya didasarkan pada dampak buruk SBS yang, katanya, berpokok pangkal pada kesalahan (controverted, disaproved). Pandangan seperti itu akhirnya sampai pada kesimpulannya Kegley bahwa sains itu “paradigm-bound phenomenon”, yang berarti tidak mungkin netral.
Saya menilai perbedaan pendapat tentang netralitas sains tersebut bersumber dari sudut pandang yang berbeda. Saintis berangkat dari makna fisis didasari norma-norma profesionalisme yang selalu digelutinya. Para pakar filsafat ilmu berangkat dari makna filosofis yang belum tentu sesuai dengan makna fisisnya. Saintis mengambil kesimpulan dari data-data yang ada dengan menyadari kesalahan-kesalahan (deviasi) yang harus selalu dinyatakan untuk dapat dinilai akurasinya. Pakar filsafat ilmu menggali lebih dalam, mungkin melibatkan juga metafisika, yang di luar lingkup tinjauan sains.
Dengan memodifikasi gambaran komparatif tentang sains oleh Prof. Herman Suwardi, saya membuat dua klasifikasi: Pertama, Sains versi saintis (yang oleh Prof. Herman Suwardi disebut SBS) yang berangkat dari premis-premis empiris. Sains tidak mungkin dibangun dari sumber-sumber non-fisis yang tidak mungkin dikaji ulang oleh saintis lainnya. Betapa pun rendahnya akurasi data empiris tersebut (tergantung perkembangan teknologi observasi dan analisisnya) tidak dapat dikatakan “salah”. Nilai kebenaran sains memang relatif, tergantung bukti-bukti dan argumentasi fisis yang jadi landasannya. Selama belum ada bukti yang menggugurkan suatu teori sains, maka teori itulah yang dianggap benar.
Ke dua, “sains” versi filsafat yang, katanya, seharusnya berangkat dari premis-premis transendental. Karena berangkat dari premis transedental bisa muncul sebutan “sains” Islam, “sains” Kristen, “sains” Yahudi, “sains” Hindu, “sains” Shinto, dan sebagainya. “Sains” seperti ini dibangun dari nilai-nilai kebenaran yang dipandu wahyu atau sumber transedental yang diakui oleh kelompok tersebut. Nilai kebenaran sains versi filsafat ini mutlak bagi yang mengakuinya, tetapi mungkin dianggap salah total bagi yang tidak mengakuinya.
Untuk memperjelas perbedaan sudut pandang tersebut, saya bahas dua contoh kasus yang disebut dalam makalah Prof. Herman Suwardi.
Teori Relativitas
Teori relativitas ada dua: Teori Relativitas Khusus dan Teori Relativitas Umum. Teori khusus menyatakan bahwa masing-masing pengamat yang bergerak seragam (tanpa percepatan) akan menyatakan hasil pengukuran yang berbeda, misalnya tentang panjang, waktu, dan energi. Asumsinya, prinsip relativitas dan kecepatan cahaya yang konstan. Salah satu bukti kebenaran teori ini yang dikenal masyarakat adalah teori kesetaraan massa dan energi, E=mc2, bila ada m massa yang dihilangkan akan muncul energi sebesar E. Teori inilah yang menjadi dasar penggunaan energi nuklir, baik untuk maksud damai maupun untuk maksud merusak.

Teori umum memperluas teori khusus dengan meninjau pengamat yang bergerak dipercepat relatif terhadap lainnya akibat gravitasi. Teori ini memperkenalkan kelengkungan ruangwaktu. Sumber gravitasi besar menyebabkan kelengkungan ruangwaktu yang dalam. Karena kesetaraan massa dan energi (antara lain cahaya), gravitasi bukan hanya mempengaruhi massa tetapi juga cahaya. Cahaya akan dibelokkan mengikuti geometri ruangwaktu di sekitar sumber gravitasi tersebut. Misalnya, cahaya galaksi yang jauh yang melintasi galaksi lain sebagai sumber gravitasi kuat akan dibelokkan sehingga tampak bukan pada posisi sesungguhnya. Fenomena ini juga dikenal sebagai lensa gravitasi, sehingga satu galaksi yang berada jauh di belakang galaksi lain, tampak seperti beberapa galaksi sejenis di sekitar suatu titik sumber gravitasi.
Teori sains seperti itu, menurut saintis, netral, bebas nilai. Teori tersebut bebas dibuktikan oleh siapa pun. Teori tersebut makin kuat posisinya karena semakin banyak bukti yang mendukungnya. Hukum alam yang diformulasi teori tersebut bukan buatan manusia, tetapi hukum Allah (sunnatullah). Einstein dan para saintis lainnya hanya memformulasikannya. Hukum Allah itu telah ada bersama dengan alam yang diciptakan-Nya. Siapa pun yang memformulasikannya dengan benar akan menghasilkan teori yang sejalan.
Bukti bebas nilainya sains dapat juga ditunjukkan dari lahirnya teori penyatuan gaya lemah dan gaya elektromagnetik yang dirumuskan secara independen oleh Abdus Salam (seorang Muslim) dan Steven Weinberg (seorang ateis). Dua orang yang berbeda sistem nilainya dapat menghasilkan teori yang sama. Mungkin ada motivasi ketauhidan pada diri Abdus Salam, bahwa Alam yang diciptakan oleh Allah yang esa hukum-hukumnya mempunyai keterkaitan yang dapat dipersatukan dalam satu teori besar (Grand Unified Theories — GUTs). Tetapi motivasi dan argumentasi ketauhidan seperti itu tidak akan muncul secara formal dalam publikasi saintifik, karena belum tentu dapat diterima semua orang.
Teori relativitas pun tersebut juga dapat dikatakan Islami. Artinya, mengikuti hukum Allah (Islam dalam arti yang umum berarti berserah diri). Teori yang mengungkapkan bagaimana alam tunduk pada hukum Allah sudah pasti berarti juga mengikuti hukum Allah.

Hukum gravitasi Newton telah mengungkapkan hukum Allah yang mengatur gerakan-gerakan planet mengitari matahari. Orang kemudian melihat suatu keanehan dengan orbit planet Merkurius yang orbitnya selalu bergesar. Bila orang menganggap hukum Newton sebagai formulasi hukum Allah yang sempurna, boleh menyatakan bahwa Merkurius “membangkang” dari hukum Allah. Ternyata kesan “pembangkangan” planet Merkurius disebabkan karena keterbatasan formulasi teori Newton. Karena alam semestinya taat pada hukum Allah sesuai dengan janji ketika diciptakan (Q. S. 41:11), mestinya ada formulasi yang lebih baik yang bisa menjelaskan bahwa planet Merkurius tidak “membangkang” hukum Allah. Teori relativitas menjelaskan bahwa karena posisi Merkurius dekat dengan matahari, ada tambahan gaya dorong yang menyebabkan orbitnya berubah. (Ini contoh pemaparan saintis Islam tentang teori sains yang bebas nilai itu).
Itulah esensi teori sains. Menjelaskan hukum Allah sebatas pengetahuan manusia karena keterbatasan ilmu manusia (Q. S. 17:85). Tidak ada seorang saintis pun yang dapat mengklaim suatu teori sains yang paling benar secara mutlak. Ungkapan yang bisa dinyatakan adalah “bukti-bukti pengamatan saat ini membuktikan teori inilah yang paling kuat”, artinya bisa saja suatu saat ada bukti lain yang menggugurkannya.

Dalam sains tidak masalah “…create more problems than they solve” (mengutip ungkapan tentang SBS dalam makalah Prof. Herman Suwardi), tentu dalam konteks problem saintifik. Karena, saintis selalu merasa tertantang dengan problem-problem baru. Banyak orang tidak menyangka bahwa sebenarnya sebagian besar waktu saintis digunakan untuk merencanakan cara memperoleh data baru untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan saintifik terbaru.
Dalam tinjauan filsafat ilmu (mengutip makalah Prof. Herman Suwardi), teori relativitas dipandang makna filosofisnya bahwa ada banyak alternatif untuk menampakkan kebenaran dan kita tidak tahu mana yang salah dan mana yang benar, atau mana yang mendekati kenyataan. Karena itu orang tidak mungkin tahun (”know”) tentang alam. Maka, mengutip Tarnas, realitas atau “scientific truth” sekarang menjadi kabur. Seseorang tidak mungkin mempunyai akses rasional pada kebenaran universal. Observasi merupakan titik lemah dari sains karena obyektivitas observasi tidak mungkin. Karena semua orang memandang segala hal yang ada di alam empirik ini dengan mata yang dilapisi oleh “lensa” dan setiap orang memiliki lensanya sendiri. Sehingga sains dianggapnya sebagai fenomena yang terikat pada paradigma. Karenanya, beralasan bila dengan cara pandang demikian dan menghendaki kebenaran hakiki (hal yang lazim dalam filsafat) sampai pada kesimpulan “sains” tidak tidak netral. Memang, mengkaji secara mendalam mencari kebenaran universal yang hakiki mau tidak mau akan bersentuhan dengan sistem nilai yang dianut dalam kajian tersebut.
Sebenarnya, mencari kebenaran hakiki bukan lagi ruang lingkup kajian sains. Karena sains tidak mungkin sejauh itu. Sains berkepentingan pada kebenaran saintifik berdasarkan bukti-bukti yang diakui menurut kaidah-kaidah ilmiah. Diharapkan kebenaran saitifik tersebut mendekati kebenaran hakiki, tetapi tak seorang saintis pun berhak mengklaim itulah kebenaran hakiki. Jadi, definisi “sains” yang disebut tidak netral oleh pakar filsafat ilmu pasti bukan sains yang dimaksud oleh para saintis.
Kerusakan Lapisan Ozon
Dampak buruk perkembangan sains dan teknologi sering dijadikan legitimasi bahwa sains tidak netral dan tidak Islami. Sains yang berdampak buruk itu diasosiasikan sebagai sains barat sekuler (SBS). Sebagai alternatifnya ditawarkan sains Islam yang dipandu wahyu yang semestinya tidak akan berdampak buruk. Karena Islam dijanjikan Allah sebagai rahmat bagi alam semesta.
Ada yang rancu di sini. Antara sains dan dampak dari sains. Dampak dari sains (dan teknologi) sudah melibatkan penggunanya (manusia) yang di luar lingkup kajian sains alami. Dalam hal ini, sistem nilai bukan berpengaruh pada sains, tetapi pada perilaku manusia penggunanya. Sains itu ibarat pisau. Netral. Tidak ada spesifikasi pisau Islam, pisau Kristen, pisau tukang sayur, atau pisau tukang daging. Dampak pisau bisa negatif bila digunakan untuk merusak atau membunuh. Tetapi bisa juga positif.

Sains dihadapkan pada masalah kerusakan lapisan. Satelit mendeteksi lapisan di atas antartika yang menipis yang dikenal sebagai lubang ozon. Sains mengkaji sebab-sebabnya. Ada sebab kosmogenik (bersumber dari alam), antara lain variasi akibat aktivitas matahari. Ada sebab antropogenik (bersumber dari aktivitas manusia). Sains juga akhirnya menemukan sumber antropogenik itu salah satunya CFC (Chlor Fluoro Carbon) atau freon yang banyak digunakan sebagai media pendingin kulkas dan AC. Kini sains menemukan bahan alternatif yang tidak merusak

Dapatkah sains dipersalahkan dan dijuluki sains barat sekuler yang merusak? Kebetulan yang menemukan freon adalah saintis non-Muslim. Karena sains bersifat universal, sebenarnya mungkin juga saintis Muslim yang menemukannya. Bila demikian yang terjadi, bolehkah pada awal penemuannya bahan yang sangat berguna dalam proses pendinginan diklaim sebagai bagian dari hasil sains Islam, sains Barat, atau lainnya? Karena keterbatasan ilmu manusia, tidak semua dampak dapat diprakirakan. Ketika kini diketahui dampak buruknya, tidaklah adil untuk melemparkan tuduhan bahwa itu produk sains barat sekuler. Bisa jadi, bila dulu yang menemukannya seorang Muslim dan diklaim sebagai hasil sains Islam, maka sains Islam yang akan dihujat.

MungkinkahMewujudkan Sains Islam?

Para saintis segera menjawab pertanyaan seperti itu, “Tidak mungkin mewujudkan sesuatu yang tidak ada!”. Karena sains bersifat universal dan bebas nilai, tidak ada sains Islam. Tetapi bagaimana bila diujicobakan dengan usulan menjelmakan ilmu tauhidullah dengan mengganti premis-premis empiris yang sembarang dengan premis-premis transendental?

Pada awal 1980-an Pakistan dibawah kepemimpinan Zia ul Haq yang mencanangkan Islamisasi di segala bidang sudah mencoba mengkaji penciptaan sains Islam. Berdasarkan premis transendental dalam ayat-ayat Al-Quran bahwa jin terbuat dari api tanpa asap, pakar energi ada yang menawarkan energi alternatif: menangkap jin sebagai sumber energi yang gratis. Ada yang mengkaji secara kimia, jin kemungkinan besar terbuat dari gas metan dan hidrokarbon jenuh sehingga bila terbakar tidak mengeluarkan asap. Tetapi tidak dijelaskan bagaimana merealisasikannya. Itulah contoh upaya menjelmakan sains Islam yang dinilai para saintis tidak realistis dan memalukan (Hoodbhooy, 1992). Ada metode yang ditawarkan dengan menggunakan “hati” sebagai penangkap keghaiban untuk memperoleh premis-premis transendental. Karena metodenya bukan metode fisis, maka hasilnya tidak dapat dianggap sebagai sains. Jadi, metode ini tidak mungkin menghasilkan sains Islam. Lagi pula, siapakah yang dapat mengklaim bahwa premis-premis yang digunakan benar-benar bersifat transendental sehingga menjamin “sains” yang dihasilkan bebas dari limbah berbahaya.
Metode menggunakan “hati” serupa itu pernah dicoba oleh seorang mahasiswa ITB aktivis masjid pada awal 1980-an. Dia bercerita kepada saya bahwa ia berkelana untuk mencari ilmu “laduni” (maknanya ilmu dari sisi-Ku, sisi Allah) yang dia percayai bisa mengatasi segala persoalan, termasuk masalah iptek yang rumit. Saya tidak tahu berhasil atau tidak dia mencari ilmunon-fisik itu. Namun, awal 1990-an saya mendengar dari seorang kerabatnya dia mengalami stres berat. Ini hanya suatu peringatan bila suatu masalah fisis didekati dengan pendekatan non-fisis dengan harapan yang terlalu besar untuk mendapatkan problem-solving yang ideal.

Nobel Fisika 2005 Untuk Bidang Optika

Jika anugerah Nobel Fisika tahun 2004 diberikan kepada tiga orang pakar di bidang Fisika Partikel, maka tahun ini anugerah yang bernilai 1,28 juta dollar (sekitar 12,8 milyar rupiah) tersebut dibagikan kepada tiga orang yang telah berjasa di bidang fisika optik. Ketiga orang tersebut adalah Roy J. Glauber (80 tahun) dari Universitas Harvard USA, John L. Hall (71 tahun) dari National Institute of Standards and Technology USA, serta Theodor W. Haensch (64 tahun) dari Max-Planck-Institut fuer Quantenoptik, Universitas Munich Jerman. Roy J. Glauber, seorang professor fisika yang memperoleh gelar doktor pada usia 24 tahun, telah berjasa dalam meletakkan fondasi dasar teori optika kuantum. Dengan menggunakan teori Elektrodinamika Quantum (QED) ia berhasil menjawab pertanyaan bagaimana memformulasikan teori kuantum (yang semula dirumuskan untuk partikel masif) untuk menjelaskan proses pendeteksian cahaya. Teori yang selanjutnya dikenal sebagai Teori Glauber ini berhasil membedakan sifat-sifat cahaya yang berasal dari sumber termal (seperti bola lampu pijar) dan cahaya koheren yang berasal dari laser atau amplifier kuantum. Untuk menghargai jasa tersebut, setengah dari hadiah Nobel Fisika akan diberikan kepada professor Glauber awal bulan Desember ini. Sisanya akan dibagikan secara rata kepada John Hall dan Theodor Haensch yang telah berjasa dalam mengembangkan spektroskopi akurat menggunakan laser serta “teknik sisir frekuensi optik”. Pada bagian pertama tulisan ini kita akan membahas penemuan Glauber.

Mekanika Kuantum dan Elektrodinamika Kuantum
Di akhir abad ke 19 pengamatan spektrum-spektrum radiasi sudah cukup akurat untuk menggugat teori fisika yang berlaku saat itu. Salah satu model teori yang sangat terkenal di masa itu adalah model “radiasi benda hitam”. Dengan menggunakan pengetahuan yang ada pada saat itu, model ini ternyata menghasilkan spektrum intesitas radiasi yang tidak cocok dengan data eksperimen. Adalah Max Planck yang pertamakali membuka jalan untuk memecahkan masalah ini. Dengan mengasumsikan bahwa pada kesetimbangan termal pertukaran energi antara material dan radiasi di dalam “benda hitam” terjadi secara diskret, dengan kata lain jumlah energi merupakan perkalian antara bilangan bulat dengan suatu energi minimal, ia berhasil mendamaikan prediksi radiasi benda hitam dengan data eksperimen. Meski demikian, Planck kurang mengetahui persis efek fisika apa yang mendasari asumsi tersebut.

Beberapa tahun kemudian Albert Einstein menyadari bahwa teori Planck tersebut dapat diinterpretasikan sebagai sifat granular (seperti partikel) dari radiasi. Dengan dasar sifat diskret energi radiasi, Einstein membangun teori efek fotolistrik. Dalam teori ini Einstein mempostulatkan bahwa radiasi disusun oleh sekumpulan paket-paket yang selanjutnya disebut foton. Sebuah elekton yang berinteraksi dengan radiasi tersebut hanya dapat menyerap satu paket energi. Jika elektron tersebut terikat pada sebuah metal, maka elektron akan memiliki energi kinetik yang dapat membebaskannya dari ikatan tersebut. Dengan demikian jumlah elektron yang keluar dari metal akan sama dengan jumlah paket radiasi yang diserap dan, sebagai akibatnya, energi setiap paket dapat dihitung secara eksperimen. Teori Einstein menyatakan bahwa energi satu paket radiasi merupakan perkalian antara konstanta Planck dengan frekuensi radiasi tersebut. Baik Planck maupun Einstein mendapatkan hadiah Nobel Fisika setelah efek fotolistrik berhasil diobservasi. Penemuan keduanya merupakan dasar dari lahirnya Mekanika Kuantum yang merupakan bagian dari Teori Fisika Modern.

Teori kuantum menyatakan bahwa radiasi gelombang elektromagnetik bersifat granular (partikel). Namun seperti kita ketahui dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari penggunaan radio, telefon selular, hingga oven microwave, tampaknya gelombang elektromagnetik tersebut lebih memperlihatkan sifat gelombang dibandingkan sifat partikelnya. Akan semakin jelas jika kita membahas cahaya yang merupakan salah satu spektrum gelombang elektromagnetik. Teori Maxwell, yang memanifestasikan cahaya dalam persamaan gelombang, ternyata merupakan dasar yang sangat sukses dalam bidang elektronika dan teknik listrik. Sementara itu kuantisasi cahaya telah dimapankan oleh eksperimen efek fotolistrik. Kedua gambaran ini jelas tampak kontradiktif, meski para pakar pendiri kuantum tidak terlalu mempermasalahkannya dengan menganggap bahwa kedua gambaran tadi bersifat komplementer (saling melengkapi).
Setelah mekanika kuantum dikembangkan oleh Werner Heisenberg, Erwin Schroedinger, serta kolega mereka, terlihat bahwa medan elektromagnetik pun harus dikuantisasi.

Adalah Paul Adrien Maurice Dirac yang pertamakali berhasil memetakan teori elektromagnetik ke dalam sekumpulan osilator harmonis dan, dengan menggunakan metode ini, ia berhasil menghitung laju emisi spontan yang merupakan efek kuantum. Teori medan elektromagnetik yang terkuantisasi ini selanjutnya dikembangkan oleh fisikawan lain seperti Wolfgang Pauli dan Lev Davidovich Landau, yang kemudian dikenal sebagai teori Elektrodinamika Kuantum. Namun teori ini mengalami kesulitan yang merupakan “penyakit bawaan” dari fisika klasik; medan elektromagnetik menyebabkan massa elektron menjadi tak berhingga. Problem ini baru terselesaikan setelah Perang Dunia kedua oleh Sin-Itiro Tomonaga, Julian Schwinger, serta Richard P. Feynman melalui suatu program yang mereka sebut sebagai renormalisasi.

Optika Kuantum
Elektrodinamika Kuantum yang berhasil “dibersihkan” dari problem inherennya oleh Tomonaga, Schwinger, dan Feynman, mayoritas hanya dibahas pada proses-proses hamburan fisika partikel berenergi tinggi. Dapat dimaklumi bahwa pada saat itu, pun hingga sekarang, fisika partikel energi tinggi sangat menantang dan menjanjikan fenomena baru dalam fisika. Konflik antara teori Maxwell dan teori Planck saat itu dianggap tidak akan memiliki efek signifikan dalam fisika optik. Namun hal ini tidak berlangsung lama. Pada tahun 1956 dua astronomiwan, Robert Hanbury Brown dan Richard Q. Twiss, memublikasikan hasil eksperimen mereka dalam sebuah paper yang berjudul A test of a new type of stellar interferometer on Sirius pada majalah Nature. Pada percobaan ini dua buah detektor yang terpisah sejauh 6 meter diarahkan pada bintang Sirius. Kedua detektor tersebut menghasilkan arus elektron (listrik) dan dihubungkan dengan peralatan yang mencatat korelasinya. Diluar dugaan, kedua ilmuwan ini menemukan bahwa keluaran kedua detektor memiliki korelasi meski keduanya diletakkan pada posisi yang berlainan. Hasil eksperimen ini menimbulkan perdebatan serius dalam komunitas fisika karena dianggap tidak konsisten dengan termodinamika dan menyalahi ketidak-pastian Heisenberg. Hanbury Brown dan Twiss menyelesaikan masalah ini dengan menganggap bahwa foton dari dua berkas cahaya koheren yang datang dari Sirius berkorelasi. Korelasi ini selanjutnya ditransfer pada saat proses emisi fotolistrik dalam detektor. Dengan demikian foton secara individu terdeteksi dalam dunia optik! Pada tahun yang sama Edward M. Purcell menunjukkan bahwa hasil eksperimen tersebut masih memiliki interpretasi klasik, namun ia masih mengasumsikan bahwa efek tersebut merupakan indikasi sifat kuantum dari cahaya. Penemuan serta penjelasan korelasi antara dua berkas cahaya koheren ini merupakan pemicu perhatian ilmuwan pada efek kuantum yang dapat diobservasi secara optis. Hal ini juga diperkuat oleh penemuan laser pada tahun 1960 yang melengkapi para ilmuwan dengan sumber cahaya koheren yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan sumber cahaya termal. Eksperimen-eksperimen selanjutnya hanya menyibak kegagalan pendekatan semi-klasik yang dijelaskan di atas. Teori yang benar baru muncul pada tahun 1963.
Pada tahun 1963 Roy Glauber menghadirkan dasar-dasar teorinya pada sebuah paper singkat yang dipublikasikan dalam jurnal Physical Review Letters. Detail dari teori tersebut ia jelaskan dalam dua paper panjang berikutnya yang dipublikasi pada tahun yang sama dalam jurnal Physical Review. Dalam teori ini Glauber menyatakan bahwa penjelasan eksperimen korelasi foton harus berlandaskan pada aplikasi konsisten dari Elektrodinamika Kuantum. Glauber memperkenalkan konsep kuasi-distribusi dalam Optika Kuantum yang merupakan penggambaran kuantum dari satu keadaan, namun memiliki hubungan langsung dengan distribusi ruang fase klasik. Meski demikian, konsep ini menghadirkan juga sifat non-klasik, misalnya peluang distribusinya tidak positif. Jika distribusi positif, maka kita dapat memberikan interpretasi klasik. Glauber memperlihatkan bahwa sumber cahaya termal berhubungan dengan distribusi Gaussian sehingga teori fluktuasi dapat digunakan untuk sumber jenis ini. Kasus laser ideal tidak memperlihatkan korelasi Hanbury Brown dan Twiss. Dalam papernya, Glauber menjelaskan analisis dari formalisme untuk pendeteksian foton yang berdasarkan fungsi korelasi normal yang kini dikenal sebagai fungsi-P atau representasi Glauber-Sudarshan. Glauber mencatat bahwa statistik absorpsi foton untuk sebuah laser tidak dapat dijelaskan dengan sifat stokastik sederhana, Gaussian atau Poissonian, namun membutuhkan informasi detail keadaan kuantum dari peralatan. Keadaan-keadaan koheren ini direpresentasikan oleh osilator harmonis. Metode ini juga cocok untuk penjelasan sinyal klasik, karena osilator tersebut memiliki amplitudo dan fase. Dengan demikian baik efek klasik maupun fluktuasi kuantum dapat muncul secara simultan.
Dalam limit intensitas cahaya yang sangat rendah jumlah foton akan sangat sedikit, sehingga efek kuantum akan dominan. Keadaan ini dapat digunakan untuk komunikasi kuantum dengan tingkat keamanan tinggi, komputasi kuantum, serta untuk merekam sinyal-sinyal super lemah pada eksperimen dengan ketelitian tinggi. Aplikasi lain dari Optika Kuantum adalah dalam penelitian aspek fundamental mekanika kuantum. Bukan rahasia lagi jika interpretasi mekanika kuantum belum dapat disepakati semua fisikawan. Dengan demikian kemungkinan menguji teori ini pada daerah kuantum dengan menggunakan Optika Kuantum sudah terbuka. Masih banyak aplikasi Optika Kuantum yang tidak dapat dijelaskan pada tulisan ini. Tidak dapat disangkal, jasa Glauber sudah sepatutnya dihargai dengan hadiah Nobel.
Sejarah perkembangan fisika memperlihatkan bahwa salah satu pemicu penemuan baru adalah meningkatnya akurasi pengukuran. Penemuan partikel-partikel baru hampir selalu terjadi setelah adanya akselerator partikel berenergi lebih tinggi dan detektor yang lebih akurat, dengan kata lain sebuah mikroskop partikel dengan resolusi lebih tinggi. Dalam bidang fisika atom (juga fisika nuklir dan partikel) salah satu cara untuk menyibak rahasia strukturnya adalah melalui spektroskopi. Spektroskopi adalah pengukuran spektrum-spektrum yang dihasilkan oleh atom (nukleus atau pun partikel) akibat transisi-transisi kuantum. Jarak antar garis-garis spektrum serta ketebalannya dapat memberikan informasi struktur tingkat-tingkat energi serta peluang transisi. Dengan demikian spektroskopi yang sangat akurat akan benar-benar membantu usaha untuk mengetahui struktur penyusun dasar alam semesta.
Nobel fisika tahun ini sebagian diberikan untuk menghargai jasa dua ilmuwan yang berhasil mengembangkan spektroskopi atom super akurat berbasiskan laser. Mereka adalah John L. Hall (warganegara Amerika) dan Theodor Haensch (warganegara Jerman). Spektroskopi akurat ini pada dasarnya dikembangkan saat kedua fisikawan tersebut sedang berusaha menjawab dua pertanyaan paling mendasar di dalam fisika, yaitu berapa panjang sebenarnya satu meter serta berapa lama selang waktu satu detik.
Dahulu di dalam buku pelajaran fisika untuk SMP dan SMA kita diperkenalkan dengan satuan SI dengan konvensi satu meter yang diberikan oleh panjang sebuah batang pengukur standar yang disimpan di Paris. Konvensi ini sudah ditinggalkan ilmuwan sejak tahun 1960, karena definisi satu meter yang lebih akurat dapat diperoleh dari sejumlah panjang gelombang garis spektum tertentu dalam atom krypton. Beberapa tahun kemudian diperkenalkan juga definisi waktu satu detik yang lebih akurat yang sama dengan sejumlah tertentu osilasi frekuensi resonansi dalam atom cesium. Kedua definisi ini membuka jalan untuk menentukan kecepatan cahaya dalam ruang vakum secara akurat melalui perkalian antara panjang gelombang dan frekuensi.
John Hall adalah ilmuwan yang berjasa dalam mengembangkan laser dengan tingkat kestabilan frekuensi ekstrim tinggi. Dengan menggunakan laser tersebut bersama koleganya ia berhasil mengukur kecepatan cahaya tanpa cacat (koreksi), yaitu 299.792.458 meter per detik. Sebagai konsekuensinya, satu meter dapat didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh cahaya selama 1/299.792.458 detik. Namun angka-angka tersebut akurasinya sangat bergantung pada definisi ukuran satu meter. Selain itu, pengukuran yang menggunakan frekuensi optik sekitar 1015 Hertz (satu juta GigaHertz) ini ternyata sangat sulit, karena jam atom cesium sendiri memiliki osilasi sekitar 100.000 kali lebih lambat. Saat itu disimpulkan perlunya metode pengukuran yang lebih sederhana tanpa mengorbankan akurasi.
Pengukuran frekuensi dengan akurasi ekstrim tinggi membutuhkan sebuah laser yang dapat memancarkan sejumlah besar osilasi dengan frekuensi koheren. Jika osilasi-osilasi tersebut memiliki frekuensi sedikit berbeda, interferensi akan menghasilkan pulsa-pulsa yang ekstrim pendek seperti terlihat pada Gambar 1. Semakin banyak frekuensi yang dapat dikunci, semakin pendek pulsa yang dihasilkan. Sebuah pulsa sepanjang 5 femto-detik dapat mengunci sekitar satu juta frekuensi berbeda. Karena pulsa laser memancarkan frekuensi yang sangat tajam, aplikasi dalam spektroskopi laser beresolusi tinggi jelas tidak mustahil. Hal ini telah menjadi perhatian Theodor Haensch sejak tahun 1970an, namun kemajuan berarti baru terjadi pada tahun 1999 saat ia menyadari bahwa laser dengan pulsa sangat pendek yang tersedia saat itu dapat dipakai untuk mengukur frekuensi optik terhadap jam cesium. Hal ini dimungkinkan karena laser tersebut memiliki sisir frekuensi yang mencakup seluruh daerah cahaya tampak. Sisir frekuensi ini (lihat Gambar 1) berfungsi sebagai batang penggaris dengan skala ekstrim akurat. Haensch mencoba mengembangkan teknik ini, namun problema pergeseran frekeuensi baru terselesaikan setelah Hall berhasil menunjukkan solusinya pada tahun 2000. Selanjutnya Haensch dan Hall bekerjasama dalam menghaluskan teknik ini sehingga terciptalah instrumen pengukur frekuensi yang sederhana dan tersedia secara komersial.
Mungkin pertanyaan yang muncul adalah apa yang dapat dihasilkan instrumen pengukur frekuensi dengan akurasi ekstrim ini di masa depan. Contoh sederhana adalah akurasi pengukuran dapat membuat sistem navigasi berbasis satelit (GPS) menjadi lebih sempurna. Sistem navigasi yang ekstrim akurat sangat diperlukan dalam perjalanan ruang angkasa yang sangat jauh atau dalam pengukuran gelombang gravitasi dengan menggunakan sederetan satelit. Pengukuran spektrum ekstrim akurat juga sangat dibutuhkan oleh penelitian simetri dalam fisika. Simetri dalam fisika menyatakan bahwa sifat-sifat partikel dan anti-partikel haruslah sama kecuali bilangan kuantum mereka. Beberapa tahun yang lalu atom-atom anti-hidrogen berhasil diproduksi di laboratorium CERN Eropa. Perbedaan antara spektrum hidrogen dan spektrum anti-hidrogen, jika berhasil diobservasi, dapat mengkonfirmasi cacat simetri di dalam alam. Eksperimen semacam ini tentu saja tidak dapat dilakukan tanpa bantuan spektroskopi ekstrim akurat. Selain itu, penelitian yang luar biasa akurat ini dapat memberi informasi apakah konstanta-konstanta universal dalam fisika benar-benar konstan atau bervariasi terhadap waktu.

Sumber : Kompas (10 Oktober 2005)