Rabu, 21 Mei 2008

Nobel Fisika 2005 Untuk Bidang Optika

Jika anugerah Nobel Fisika tahun 2004 diberikan kepada tiga orang pakar di bidang Fisika Partikel, maka tahun ini anugerah yang bernilai 1,28 juta dollar (sekitar 12,8 milyar rupiah) tersebut dibagikan kepada tiga orang yang telah berjasa di bidang fisika optik. Ketiga orang tersebut adalah Roy J. Glauber (80 tahun) dari Universitas Harvard USA, John L. Hall (71 tahun) dari National Institute of Standards and Technology USA, serta Theodor W. Haensch (64 tahun) dari Max-Planck-Institut fuer Quantenoptik, Universitas Munich Jerman. Roy J. Glauber, seorang professor fisika yang memperoleh gelar doktor pada usia 24 tahun, telah berjasa dalam meletakkan fondasi dasar teori optika kuantum. Dengan menggunakan teori Elektrodinamika Quantum (QED) ia berhasil menjawab pertanyaan bagaimana memformulasikan teori kuantum (yang semula dirumuskan untuk partikel masif) untuk menjelaskan proses pendeteksian cahaya. Teori yang selanjutnya dikenal sebagai Teori Glauber ini berhasil membedakan sifat-sifat cahaya yang berasal dari sumber termal (seperti bola lampu pijar) dan cahaya koheren yang berasal dari laser atau amplifier kuantum. Untuk menghargai jasa tersebut, setengah dari hadiah Nobel Fisika akan diberikan kepada professor Glauber awal bulan Desember ini. Sisanya akan dibagikan secara rata kepada John Hall dan Theodor Haensch yang telah berjasa dalam mengembangkan spektroskopi akurat menggunakan laser serta “teknik sisir frekuensi optik”. Pada bagian pertama tulisan ini kita akan membahas penemuan Glauber.

Mekanika Kuantum dan Elektrodinamika Kuantum
Di akhir abad ke 19 pengamatan spektrum-spektrum radiasi sudah cukup akurat untuk menggugat teori fisika yang berlaku saat itu. Salah satu model teori yang sangat terkenal di masa itu adalah model “radiasi benda hitam”. Dengan menggunakan pengetahuan yang ada pada saat itu, model ini ternyata menghasilkan spektrum intesitas radiasi yang tidak cocok dengan data eksperimen. Adalah Max Planck yang pertamakali membuka jalan untuk memecahkan masalah ini. Dengan mengasumsikan bahwa pada kesetimbangan termal pertukaran energi antara material dan radiasi di dalam “benda hitam” terjadi secara diskret, dengan kata lain jumlah energi merupakan perkalian antara bilangan bulat dengan suatu energi minimal, ia berhasil mendamaikan prediksi radiasi benda hitam dengan data eksperimen. Meski demikian, Planck kurang mengetahui persis efek fisika apa yang mendasari asumsi tersebut.

Beberapa tahun kemudian Albert Einstein menyadari bahwa teori Planck tersebut dapat diinterpretasikan sebagai sifat granular (seperti partikel) dari radiasi. Dengan dasar sifat diskret energi radiasi, Einstein membangun teori efek fotolistrik. Dalam teori ini Einstein mempostulatkan bahwa radiasi disusun oleh sekumpulan paket-paket yang selanjutnya disebut foton. Sebuah elekton yang berinteraksi dengan radiasi tersebut hanya dapat menyerap satu paket energi. Jika elektron tersebut terikat pada sebuah metal, maka elektron akan memiliki energi kinetik yang dapat membebaskannya dari ikatan tersebut. Dengan demikian jumlah elektron yang keluar dari metal akan sama dengan jumlah paket radiasi yang diserap dan, sebagai akibatnya, energi setiap paket dapat dihitung secara eksperimen. Teori Einstein menyatakan bahwa energi satu paket radiasi merupakan perkalian antara konstanta Planck dengan frekuensi radiasi tersebut. Baik Planck maupun Einstein mendapatkan hadiah Nobel Fisika setelah efek fotolistrik berhasil diobservasi. Penemuan keduanya merupakan dasar dari lahirnya Mekanika Kuantum yang merupakan bagian dari Teori Fisika Modern.

Teori kuantum menyatakan bahwa radiasi gelombang elektromagnetik bersifat granular (partikel). Namun seperti kita ketahui dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari penggunaan radio, telefon selular, hingga oven microwave, tampaknya gelombang elektromagnetik tersebut lebih memperlihatkan sifat gelombang dibandingkan sifat partikelnya. Akan semakin jelas jika kita membahas cahaya yang merupakan salah satu spektrum gelombang elektromagnetik. Teori Maxwell, yang memanifestasikan cahaya dalam persamaan gelombang, ternyata merupakan dasar yang sangat sukses dalam bidang elektronika dan teknik listrik. Sementara itu kuantisasi cahaya telah dimapankan oleh eksperimen efek fotolistrik. Kedua gambaran ini jelas tampak kontradiktif, meski para pakar pendiri kuantum tidak terlalu mempermasalahkannya dengan menganggap bahwa kedua gambaran tadi bersifat komplementer (saling melengkapi).
Setelah mekanika kuantum dikembangkan oleh Werner Heisenberg, Erwin Schroedinger, serta kolega mereka, terlihat bahwa medan elektromagnetik pun harus dikuantisasi.

Adalah Paul Adrien Maurice Dirac yang pertamakali berhasil memetakan teori elektromagnetik ke dalam sekumpulan osilator harmonis dan, dengan menggunakan metode ini, ia berhasil menghitung laju emisi spontan yang merupakan efek kuantum. Teori medan elektromagnetik yang terkuantisasi ini selanjutnya dikembangkan oleh fisikawan lain seperti Wolfgang Pauli dan Lev Davidovich Landau, yang kemudian dikenal sebagai teori Elektrodinamika Kuantum. Namun teori ini mengalami kesulitan yang merupakan “penyakit bawaan” dari fisika klasik; medan elektromagnetik menyebabkan massa elektron menjadi tak berhingga. Problem ini baru terselesaikan setelah Perang Dunia kedua oleh Sin-Itiro Tomonaga, Julian Schwinger, serta Richard P. Feynman melalui suatu program yang mereka sebut sebagai renormalisasi.

Optika Kuantum
Elektrodinamika Kuantum yang berhasil “dibersihkan” dari problem inherennya oleh Tomonaga, Schwinger, dan Feynman, mayoritas hanya dibahas pada proses-proses hamburan fisika partikel berenergi tinggi. Dapat dimaklumi bahwa pada saat itu, pun hingga sekarang, fisika partikel energi tinggi sangat menantang dan menjanjikan fenomena baru dalam fisika. Konflik antara teori Maxwell dan teori Planck saat itu dianggap tidak akan memiliki efek signifikan dalam fisika optik. Namun hal ini tidak berlangsung lama. Pada tahun 1956 dua astronomiwan, Robert Hanbury Brown dan Richard Q. Twiss, memublikasikan hasil eksperimen mereka dalam sebuah paper yang berjudul A test of a new type of stellar interferometer on Sirius pada majalah Nature. Pada percobaan ini dua buah detektor yang terpisah sejauh 6 meter diarahkan pada bintang Sirius. Kedua detektor tersebut menghasilkan arus elektron (listrik) dan dihubungkan dengan peralatan yang mencatat korelasinya. Diluar dugaan, kedua ilmuwan ini menemukan bahwa keluaran kedua detektor memiliki korelasi meski keduanya diletakkan pada posisi yang berlainan. Hasil eksperimen ini menimbulkan perdebatan serius dalam komunitas fisika karena dianggap tidak konsisten dengan termodinamika dan menyalahi ketidak-pastian Heisenberg. Hanbury Brown dan Twiss menyelesaikan masalah ini dengan menganggap bahwa foton dari dua berkas cahaya koheren yang datang dari Sirius berkorelasi. Korelasi ini selanjutnya ditransfer pada saat proses emisi fotolistrik dalam detektor. Dengan demikian foton secara individu terdeteksi dalam dunia optik! Pada tahun yang sama Edward M. Purcell menunjukkan bahwa hasil eksperimen tersebut masih memiliki interpretasi klasik, namun ia masih mengasumsikan bahwa efek tersebut merupakan indikasi sifat kuantum dari cahaya. Penemuan serta penjelasan korelasi antara dua berkas cahaya koheren ini merupakan pemicu perhatian ilmuwan pada efek kuantum yang dapat diobservasi secara optis. Hal ini juga diperkuat oleh penemuan laser pada tahun 1960 yang melengkapi para ilmuwan dengan sumber cahaya koheren yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan sumber cahaya termal. Eksperimen-eksperimen selanjutnya hanya menyibak kegagalan pendekatan semi-klasik yang dijelaskan di atas. Teori yang benar baru muncul pada tahun 1963.
Pada tahun 1963 Roy Glauber menghadirkan dasar-dasar teorinya pada sebuah paper singkat yang dipublikasikan dalam jurnal Physical Review Letters. Detail dari teori tersebut ia jelaskan dalam dua paper panjang berikutnya yang dipublikasi pada tahun yang sama dalam jurnal Physical Review. Dalam teori ini Glauber menyatakan bahwa penjelasan eksperimen korelasi foton harus berlandaskan pada aplikasi konsisten dari Elektrodinamika Kuantum. Glauber memperkenalkan konsep kuasi-distribusi dalam Optika Kuantum yang merupakan penggambaran kuantum dari satu keadaan, namun memiliki hubungan langsung dengan distribusi ruang fase klasik. Meski demikian, konsep ini menghadirkan juga sifat non-klasik, misalnya peluang distribusinya tidak positif. Jika distribusi positif, maka kita dapat memberikan interpretasi klasik. Glauber memperlihatkan bahwa sumber cahaya termal berhubungan dengan distribusi Gaussian sehingga teori fluktuasi dapat digunakan untuk sumber jenis ini. Kasus laser ideal tidak memperlihatkan korelasi Hanbury Brown dan Twiss. Dalam papernya, Glauber menjelaskan analisis dari formalisme untuk pendeteksian foton yang berdasarkan fungsi korelasi normal yang kini dikenal sebagai fungsi-P atau representasi Glauber-Sudarshan. Glauber mencatat bahwa statistik absorpsi foton untuk sebuah laser tidak dapat dijelaskan dengan sifat stokastik sederhana, Gaussian atau Poissonian, namun membutuhkan informasi detail keadaan kuantum dari peralatan. Keadaan-keadaan koheren ini direpresentasikan oleh osilator harmonis. Metode ini juga cocok untuk penjelasan sinyal klasik, karena osilator tersebut memiliki amplitudo dan fase. Dengan demikian baik efek klasik maupun fluktuasi kuantum dapat muncul secara simultan.
Dalam limit intensitas cahaya yang sangat rendah jumlah foton akan sangat sedikit, sehingga efek kuantum akan dominan. Keadaan ini dapat digunakan untuk komunikasi kuantum dengan tingkat keamanan tinggi, komputasi kuantum, serta untuk merekam sinyal-sinyal super lemah pada eksperimen dengan ketelitian tinggi. Aplikasi lain dari Optika Kuantum adalah dalam penelitian aspek fundamental mekanika kuantum. Bukan rahasia lagi jika interpretasi mekanika kuantum belum dapat disepakati semua fisikawan. Dengan demikian kemungkinan menguji teori ini pada daerah kuantum dengan menggunakan Optika Kuantum sudah terbuka. Masih banyak aplikasi Optika Kuantum yang tidak dapat dijelaskan pada tulisan ini. Tidak dapat disangkal, jasa Glauber sudah sepatutnya dihargai dengan hadiah Nobel.
Sejarah perkembangan fisika memperlihatkan bahwa salah satu pemicu penemuan baru adalah meningkatnya akurasi pengukuran. Penemuan partikel-partikel baru hampir selalu terjadi setelah adanya akselerator partikel berenergi lebih tinggi dan detektor yang lebih akurat, dengan kata lain sebuah mikroskop partikel dengan resolusi lebih tinggi. Dalam bidang fisika atom (juga fisika nuklir dan partikel) salah satu cara untuk menyibak rahasia strukturnya adalah melalui spektroskopi. Spektroskopi adalah pengukuran spektrum-spektrum yang dihasilkan oleh atom (nukleus atau pun partikel) akibat transisi-transisi kuantum. Jarak antar garis-garis spektrum serta ketebalannya dapat memberikan informasi struktur tingkat-tingkat energi serta peluang transisi. Dengan demikian spektroskopi yang sangat akurat akan benar-benar membantu usaha untuk mengetahui struktur penyusun dasar alam semesta.
Nobel fisika tahun ini sebagian diberikan untuk menghargai jasa dua ilmuwan yang berhasil mengembangkan spektroskopi atom super akurat berbasiskan laser. Mereka adalah John L. Hall (warganegara Amerika) dan Theodor Haensch (warganegara Jerman). Spektroskopi akurat ini pada dasarnya dikembangkan saat kedua fisikawan tersebut sedang berusaha menjawab dua pertanyaan paling mendasar di dalam fisika, yaitu berapa panjang sebenarnya satu meter serta berapa lama selang waktu satu detik.
Dahulu di dalam buku pelajaran fisika untuk SMP dan SMA kita diperkenalkan dengan satuan SI dengan konvensi satu meter yang diberikan oleh panjang sebuah batang pengukur standar yang disimpan di Paris. Konvensi ini sudah ditinggalkan ilmuwan sejak tahun 1960, karena definisi satu meter yang lebih akurat dapat diperoleh dari sejumlah panjang gelombang garis spektum tertentu dalam atom krypton. Beberapa tahun kemudian diperkenalkan juga definisi waktu satu detik yang lebih akurat yang sama dengan sejumlah tertentu osilasi frekuensi resonansi dalam atom cesium. Kedua definisi ini membuka jalan untuk menentukan kecepatan cahaya dalam ruang vakum secara akurat melalui perkalian antara panjang gelombang dan frekuensi.
John Hall adalah ilmuwan yang berjasa dalam mengembangkan laser dengan tingkat kestabilan frekuensi ekstrim tinggi. Dengan menggunakan laser tersebut bersama koleganya ia berhasil mengukur kecepatan cahaya tanpa cacat (koreksi), yaitu 299.792.458 meter per detik. Sebagai konsekuensinya, satu meter dapat didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh cahaya selama 1/299.792.458 detik. Namun angka-angka tersebut akurasinya sangat bergantung pada definisi ukuran satu meter. Selain itu, pengukuran yang menggunakan frekuensi optik sekitar 1015 Hertz (satu juta GigaHertz) ini ternyata sangat sulit, karena jam atom cesium sendiri memiliki osilasi sekitar 100.000 kali lebih lambat. Saat itu disimpulkan perlunya metode pengukuran yang lebih sederhana tanpa mengorbankan akurasi.
Pengukuran frekuensi dengan akurasi ekstrim tinggi membutuhkan sebuah laser yang dapat memancarkan sejumlah besar osilasi dengan frekuensi koheren. Jika osilasi-osilasi tersebut memiliki frekuensi sedikit berbeda, interferensi akan menghasilkan pulsa-pulsa yang ekstrim pendek seperti terlihat pada Gambar 1. Semakin banyak frekuensi yang dapat dikunci, semakin pendek pulsa yang dihasilkan. Sebuah pulsa sepanjang 5 femto-detik dapat mengunci sekitar satu juta frekuensi berbeda. Karena pulsa laser memancarkan frekuensi yang sangat tajam, aplikasi dalam spektroskopi laser beresolusi tinggi jelas tidak mustahil. Hal ini telah menjadi perhatian Theodor Haensch sejak tahun 1970an, namun kemajuan berarti baru terjadi pada tahun 1999 saat ia menyadari bahwa laser dengan pulsa sangat pendek yang tersedia saat itu dapat dipakai untuk mengukur frekuensi optik terhadap jam cesium. Hal ini dimungkinkan karena laser tersebut memiliki sisir frekuensi yang mencakup seluruh daerah cahaya tampak. Sisir frekuensi ini (lihat Gambar 1) berfungsi sebagai batang penggaris dengan skala ekstrim akurat. Haensch mencoba mengembangkan teknik ini, namun problema pergeseran frekeuensi baru terselesaikan setelah Hall berhasil menunjukkan solusinya pada tahun 2000. Selanjutnya Haensch dan Hall bekerjasama dalam menghaluskan teknik ini sehingga terciptalah instrumen pengukur frekuensi yang sederhana dan tersedia secara komersial.
Mungkin pertanyaan yang muncul adalah apa yang dapat dihasilkan instrumen pengukur frekuensi dengan akurasi ekstrim ini di masa depan. Contoh sederhana adalah akurasi pengukuran dapat membuat sistem navigasi berbasis satelit (GPS) menjadi lebih sempurna. Sistem navigasi yang ekstrim akurat sangat diperlukan dalam perjalanan ruang angkasa yang sangat jauh atau dalam pengukuran gelombang gravitasi dengan menggunakan sederetan satelit. Pengukuran spektrum ekstrim akurat juga sangat dibutuhkan oleh penelitian simetri dalam fisika. Simetri dalam fisika menyatakan bahwa sifat-sifat partikel dan anti-partikel haruslah sama kecuali bilangan kuantum mereka. Beberapa tahun yang lalu atom-atom anti-hidrogen berhasil diproduksi di laboratorium CERN Eropa. Perbedaan antara spektrum hidrogen dan spektrum anti-hidrogen, jika berhasil diobservasi, dapat mengkonfirmasi cacat simetri di dalam alam. Eksperimen semacam ini tentu saja tidak dapat dilakukan tanpa bantuan spektroskopi ekstrim akurat. Selain itu, penelitian yang luar biasa akurat ini dapat memberi informasi apakah konstanta-konstanta universal dalam fisika benar-benar konstan atau bervariasi terhadap waktu.

Sumber : Kompas (10 Oktober 2005)

Tidak ada komentar: